Musafir: Pengertian, Tujuan, dan Syarat

Table of Contents
Musafir adalah orang yang bepergian jauh dengan maksud tertentu, entah itu untuk beribadah, mencari nafkah, menimba ilmu, atau berbagai kegiatan lainnya yang terencana. Adapun definisi musafir dalam konteks keagamaan Islam berlaku untuk orang yang bepergian melampaui 80 hingga 90 kilometer dari tempat asalnya, dan keadaan ini memberinya kemudahan menjalankan ibadah, termasuk menjamak serta mengqashar salat. Konsep musafir, di samping memiliki makna religius, juga lazim diterapkan dalam ranah sosial dan budaya guna menjelaskan seseorang yang tengah dalam proses perpindahan dari suatu tempat ke tempat lain. 
 
 
Sering kali, istilah musafir mencerminkan sebuah perjalanan yang penuh arti serta mendatangkan banyak pelajaran kehidupan. Musafir bisa saja dihadapkan pada beragam situasi dan rintangan di daerah yang belum dikenalnya, kondisi ini memungkinkan perluasan pemahaman mengenai kehidupan dan budaya lain, serta penajaman kemandirian maupun daya juang.

A. Pengertian Musafir

Berikut ini beberapa pengertian musafir menurut para ahli antara lain.
  • Menurut Muhammad Asad, musafir adalah individu yang berpindah dari kediaman tetapnya dan melakukan perjalanan menuju daerah lain dengan jarak yang cukup jauh, sehingga baginya berlaku keringanan hukum Islam, contohnya menjamak atau mengqasar salat.
  • Menurut Yusuf al-Qaradawi, musafir adalah individu yang melakukan perjalanan sejauh setidaknya 80–90 kilometer dari kediamannya, bukan karena beralih domisili tetap, melainkan untuk sebuah tujuan sementara.
  • Menurut Dr. Wahbah al-Zuhaili, musafir adalah seseorang yang melakukan perjalanan melampaui standar jarak yang disepakati oleh mayoritas ulama, dan selama dalam perjalanan itu, individu tersebut diperkenankan untuk melaksanakan rukhsah (keringanan) dalam ibadah.
  • Menurut Sheikh Ibn Uthaymeen, musafir adalah individu yang melakukan perjalanan keluar dari area tempat tinggalnya dan mencapai jarak yang secara umum dipandang jauh dalam masyarakat, tanpa harus terpaku pada ukuran kilometer yang spesifik.
  • Menurut Imam Nawawi, musafir adalah seseorang yang meninggalkan wilayah tempat tinggalnya demi sebuah perjalanan dengan jarak kurang lebih dua marhalah (sekitar 80–90 km), asalkan perjalanan itu tidak bertujuan pada sesuatu yang tidak diperbolehkan.

B. Tujuan Musafir

Berikut ini beberapa tujuan dari musafir antara lain.

1. Menunaikan Ibadah

Mengerjakan ibadah merupakan salah satu tujuan utama musafir, khususnya ibadah yang secara syariat menuntut adanya perjalanan, misalnya haji dan umrah ke Tanah Suci. Sebagai bagian dari ajaran Islam, pergi ke Mekkah sebuah kewajiban bagi tiap individu yang memiliki kesiapan fisik dan ekonomi. Di samping itu, individu-individu tertentu bepergian untuk berziarah ke makam para wali atau ulama, hal ini dilakukan dengan niat memperkukuh keyakinan dan mengenang upaya penyebaran agama Islam. Ibadah yang dilakukan selama bepergian ini bukan hanya praktik keagamaan, namun juga manifestasi penghambaan dan upaya mendekat kepada Allah SWT.

2. Menuntut Ilmu

Perjalanan seorang musafir dapat pula bertujuan untuk menuntut ilmu, menggali wawasan dari sumber-sumber yang beragam. Semenjak dahulu, para tokoh ulama terkemuka seperti Imam Syafi’i dan Imam Bukhari berani mengarungi ribuan kilometer demi mendapatkan dan meriwayatkan hadis, memahami fiqh, serta saling bertukar ilmu dengan para ahli lainnya. Secara modern, konsep ini dapat ditafsirkan sebagai aktivitas bepergian guna menempuh pendidikan, menghadiri seminar, atau menjalani pelatihan keilmuan. Dalam Islam, tujuan ini sangatlah mulia, sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang menyatakan bahwa siapa saja yang menempuh jalan menuntut ilmu, maka Allah akan melapangkan baginya jalan ke surga.

3. Berdagang atau Mencari Nafkah

Tak sedikit musafir yang bepergian untuk tujuan perniagaan atau mencari nafkah guna memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Di era Rasulullah SAW, banyak sahabat bepergian untuk berdagang ke Syam serta Yaman, mengembangkan jaringan perniagaan yang luas. Sebagai pintu rezeki penting, perdagangan sangatlah berarti, dan aktivitas bepergian ini menjadi wujud ikhtiar dalam mencukupi keperluan hidup. Musafir yang berorientasi ekonomi saat ini bisa dijumpai pada orang-orang yang merantau demi pekerjaan, ikut serta dalam pertemuan bisnis, atau mengembangkan usaha di luar daerah domisili.

4. Bersilaturahmi

Di sisi lain, musafir bisa saja menempuh perjalanan demi bersilaturahmi, yakni merajut serta mempererat jalinan kekeluargaan atau persaudaraan. Islam amat menganjurkan silaturahmi karena amalan ini bisa memperpanjang umur dan melapangkan rezeki. Demi mempertahankan hubungan yang harmonis, banyak orang kembali ke kampung halaman, menemui sanak saudara, atau sahabat karib dengan tujuan memelihara ikatan baik. Lebih dari sekadar aktivitas fisik, perjalanan ini juga memiliki nilai emosional dan spiritual, dalam rangka mengukuhkan jalinan sosial yang menjadi penopang komunitas Islam.

5. Rekreasi dan Mengagumi Ciptaan Allah

Beberapa musafir bepergian demi rekreasi atau wisata, sebuah aktivitas yang dapat pula menjadi sarana untuk memahami keagungan ciptaan Allah SWT. Dalam Al-Qur'an, Allah SWT memberi petunjuk kepada manusia agar berkelana di muka bumi dan memperhatikan segala tatanan kehidupan yang telah diatur oleh-Nya. Jika rekreasi diniatkan untuk memulihkan kebugaran agar semakin produktif dalam beribadah dan bekerja, maka aktivitas tersebut dapat digolongkan sebagai ibadah dalam konteks syar'i. Perjalanan semacam ini memberikan wawasan dan pengalaman baru, di samping itu bisa menjadi pembelajaran hidup yang bernilai tinggi.

6. Hijrah atau Pindah Tempat Tinggal

Perjalanan seorang musafir bisa jadi bertujuan hijrah, yaitu perpindahan tempat tinggal yang dilandasi oleh motif agama, keamanan, atau pencarian kehidupan yang lebih baik. Dalam catatan sejarah Islam, hijrah Nabi Muhammad SAW dari Mekkah ke Madinah tampil sebagai contoh musafir teragung, lantaran dilakukan demi tegaknya agama dan penyelamatan umat. Saat ini, seringkali dijumpai orang-orang yang melakukan perjalanan panjang untuk pindah maupun tinggal di daerah baru, demi mencari lingkungan yang lebih kondusif dari aspek spiritual, sosial, dan ekonomi.

C. Syarat Musafir

Berikut ini beberapa syarat dari musafir antara lain.

1. Niat untuk Melakukan Perjalanan

Seseorang dapat dikategorikan sebagai musafir apabila memiliki niat awal untuk menempuh perjalanan dalam jarak yang panjang. Niat ini berfungsi sebagai dasar hukum yang menentukan apakah seseorang diperbolehkan memperoleh keringanan (rukhsah) dalam beribadah, seperti menjamak dan mengqashar salat. Jika sebuah perjalanan tanpa niat, misalnya tersesat atau berpindah tempat tanpa disengaja, hal itu tidak digolongkan sebagai safar yang sah menurut syariat. Peran niat sangat besar dalam menetapkan hukum ibadah menurut Islam, selaras dengan sabda Nabi Muhammad SAW: “Sesungguhnya segala perbuatan itu dengan niat.” (HR. Bukhari dan Muslim).

2. Jarak Tempuh Perjalanan Mencapai Batas Safar

Jarak minimal yang dianggap sebagai safar oleh sebagian besar ulama adalah kurang lebih 80 hingga 90 kilometer. Dasar penetapan jarak ini mengacu pada perjalanan Rasulullah SAW bersama sahabatnya, yang kira-kira mencapai jarak tersebut ketika beliau menjamak dan mengqashar salat. Apabila perjalanan seseorang tidak mencapai jarak ini, orang tersebut tidak bisa memperoleh kemudahan sebagai musafir, contohnya mengqashar atau menjamak salat.

3. Perjalanan Tidak Bertujuan untuk Melakukan Perbuatan Dosa

Syarat selanjutnya adalah perjalanan yang ditempuh tidak bertujuan untuk melakukan perbuatan dosa atau melanggar syariat agama. Menurut pandangan ulama, keringanan ibadah hanya diperuntukkan bagi musafir yang perjalanannya bertujuan baik atau mubah, seperti untuk berdagang, belajar, atau berkunjung. Adapun perjalanan yang dilakukan untuk tujuan buruk, seperti mencuri atau kejahatan lain, tidak akan mendapatkan keringanan syariat, karena rahmat Allah tidak diberikan kepada orang yang menempuh jalan dosa.

4. Musafir Bukan Bermukim atau Menetap di Tempat Tujuan

Menurut mayoritas ulama, seseorang baru tergolong musafir jika tidak berniat tinggal di tempat tujuan selama lebih dari empat hari. Apabila berniat menetap di tempat tujuan melebihi batas waktu tersebut, statusnya akan berubah menjadi muqim, dan harus menjalankan ibadah seperti layaknya penduduk lokal, tidak mendapatkan rukhsah. Akan tetapi, jika tidak menentukan berapa lama akan tinggal atau hanya mampir sebentar, statusnya akan tetap sebagai musafir dan berhak menerima keringanan.

5. Sudah Keluar dari Batas Wilayah Tempat Tinggal

Sebelum diperbolehkan mengqashar atau menjamak salat, musafir harus sudah melewati batas wilayah tempat tinggalnya (hadhar) untuk mendapatkan keringanan. Status musafir secara hukum tidak diperoleh selama seseorang masih berada di lingkungan tempat tinggal, meskipun niat safar telah ada. Menurut ulama, safar baru diakui sah jika seseorang sudah berada di luar batas kota atau desa asalnya.

6. Berakal dan Mumayyiz

Terakhir, seorang musafir harus dalam kondisi berakal sehat dan sudah dapat membedakan mana yang benar dan salah. Karena tidak dibebankan syariat (taklif), anak-anak yang belum mumayyiz atau individu dengan gangguan jiwa tidak memiliki status musafir dan tidak bisa memperoleh keringanan safar.

Referensi:
 
Dikutip dari berbagai sumber.